RUMUS MENGHITUNG BIAYA PRODUKSI (Part 2)

00:03 SabrinTechno 1 Comments







Langkah 3. Menghitung Harga Pokok Produksi masing-masing produk.

Setelah diketahui tarif biaya overhead bagi masing-masing bagian produksi, maka dapat dihitung harga pokok produksi barang A dan B sebagai berikut:


Untuk dapat menghitung keuntungan perusahaan dari investasi yang dikeluarkan bagi anggaran SDM kita dapat menggunakan 3 indikator (matriks):


1.      Keuntungan Perusahaan per Karyawan (Revenue per employee)
2.      EBITDA per karyawan  (EBITDA per Employee)
3.      Imbal Hasil Investasi SDM (Human Capital ROI

1. Revenue per employee

Salah satu indikator yang sudah dikenal di dunia keuangan adalah RPE (Revenue Per Employee), yang bila di bahasa Indonesiakan adalah laba perusahaan per karyawan, dihitung dengan menggunakan rumus:

Laba Perusahaan Per Karyawan  =  Keuntungan Perusahaan
                                                        Jumlah Karyawan

Apabila perusahaan Anda mendapatkan laba pada tahun 2010 sebesar Rp.5.000.000.000 dan Anda memiliki karyawan sejumlah 100 orang, maka keuntungan perusahaan perusahaan per karyawan (RPE) Anda pada tahun 2010 sebesar Rp. 50.000.000. Dengan kata lain setiap 1 orang karyawan di perusahaan Anda, menyumbangkan keuntungan pada perusahaan  sebesar Rp.50.000.000. Agar lebih bermakna dalam penggunaan RPE, Anda bisa membandingkannya dengan tahun sebelum atau sesudahnya. Sebagai contoh, pada tahun 2011 perusahaan Anda membukukan laba sebesar Rp. 6.500.000.000, naik 1,5 milyar dari tahun 2010.  Jumlah karyawan Anda di tahun 2011 ternyata juga bertambah 40 orang dibandingkan tahun 2010 sehingga total menjadi 140 orang karyawan. Setelah dihitung RPE perusahaan Anda di tahun 2011 adalah Rp.46.428.571  (6,5 milyar / 140). 

Ternyata setelah dibandingkan, RPE 2011 (Rp.46.428.571) justru turun dari RPE 2010 (Rp.50.000.000). Bila tidak ada faktor luar lain yang mempengaruhi  (krisis ekonomi, regulasi baru, dll). Maka Anda bisa menarik kesimpulan penambahan 40 orang karyawan pada tahun 2011 tidak benar-benar membantu meningkatkan keuntungan perusahaan.  Dengan informasi ini Anda kemudian bisa mengeksplorasi lebih lanjut apa yang menjadi penyebab permasalahan apakah itu pembagian tugas yang kurang efektif, produktifitas yang kurang optimal karena kurangnya pelatihan, komunikasi kerja yang kurang kondusif, dll. Sehingga  Anda kemudian bisa  mengambil langkah konstruktif perbaikan lebih lanjut.

Selain itu, Informasi RPE ini  bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan jumlah karyawan pada tahun berikutnya (man power planning). Sebagai contoh bila pada tahun 2010 perusahaan Anda memiliki RPE Rp.50,000.000 per karyawan dan pada tahun 2011 Anda merencanakan  laba sebesar Rp. 6,5 milyar maka untuk mencapai RPE setidaknya sama dengan tahun 2010,  jumlah karyawan Anda di tahun  2011 tidak boleh lebih dari 130 orang (Rp.6,5 milyar / Rp.50 juta).  Dengan kata lain, jumlah karyawan baru yang Anda bisa rekrut  pada tahun 2011 adalah 30 karyawan.


Selain untuk menghitung efektifitas jumlah karyawan secara internal, RPE juga dapat digunakan untuk membandingkan seberapa kompetitif karyawan Perusahaan Anda menghasilkan keutungan, bila dibandingkan dengan karyawan perusahaan lain pada industri Anda. Kita perhatikan ilustrasi tabel berikut


Perusahaan Anda
Perusahaan B
Perusahaan C
Revenue
Rp5.000.000.000
Rp7.500.000.000
Rp4.000.000.000
# Karyawan
100
180
65
RPE
Rp50.000.000
Rp41.666.667
Rp61.538.462
  
Dari tabel ilustrasi diatas kita dapat melihat bahwa perusahaan Anda dari segi RPE lebih besar dibandingkan perusahaan B walaupun Revenue yang dihasilkan oleh perusahaan B lebih besar dari pada perusahaan Anda, ini berarti dari segi produktifitas karyawan Anda menghasilkan keuntungan  lebih banyak dibandingkan perusahaan B. Kalau kita melihat RPE perusahaan C, kita bisa melihat karyawan  perusahaan C lebih produktif menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan karyawan perusahaan Anda,  karena RPE karyawan perusahaan C ebih besar dibandingkan perusahaan Anda, walaupun untungnya ebih kecil. 

Dari analisis sederhana ini, RPE bisa menjadi "salah satu" masukan untuk  merancang strategi penambahan karyawan yang sekiranya ideal dan kompetitif dibandingkan dengan perusahaan saingan di  industri Anda. Bila Anda akan menggunakan RPE dalam analisa Anda, perlu dipahami beberapa hal,  pastikan perbandingan yang Anda lakukan apple to apple.  Dengan kata lain perusahan perbaindingan adalah  perusahaan yang serupa / sejenis, agar kemudian penarikan kesimpulan yang diambil bisa relevan.

Selain itu, kalau Anda tanya ahli keuangan bisa jadi "Revenue" tidak sepenuhnya mencerminkan keuntungan perusahaan, karena secara pencatatan keuangan bisa saja ada pemasukan lain di perusahaan yang tidak bersumber dari kinerja operasionalnya. Beberapa ahli juga menganggap bahwa revenue bisa kurang riiil karena faktor-faktor seperti depresiasi, amortisasi, ataupun pajak yang bisa jadi sangat berbeda antar satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Oleh karena itu indikator lain yang bisa digunakan adalah untuk melihat lebih lanjut keuntungan perusahaan per karyawan adalah  EBITDA. 


2. EBITDA per employee 

EBITDA adalah akronim dari Earning Before Income Tax Depreciation & Amortization, dengan kata lain pemasukan perusahaan sebelum dikurangi pajak, depresiasi dan amortisasi. Penggunaan perhitungan EBITDA dalam menghitung keuntungan perusahaan per karyawan bisa memberikan  wawasan yang menarik  mengenai keuntungan perusahaan per karyawan,  khususnya  bila kita akan melihat kinerja per produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Josh Letourneau  memberikan penjelasan  yang sangat baik dalam menganalisa  menggunakan  EBITDA. Oleh karena itu saya hanya akan mengulas ulang apa yang sudah beliau jelaskan.

Sebagai Contoh perusahaan Anda menghasilkan  3 Produk (A, B, C) dan 2 jasa (D & E), dengan revenue, EBITDA, dan EBITDA per employee sebagai berikut:


Produk A
Produk B
Produk C
Jasa D
Jasa E
Revenue
$1,000
$800
$1,500
$500
$300
EBITDA
$200
$300
$150
$400
$100
# of employee
133
150
300
80
50
EBITDA/Employee
$1.50
$2.00
$0.50
$5.00
$2.00


Bila kita hanya melihat dari segi laba saja, kita mengetahui bahwa Produk A adalah produk penghasil pemasukan terbesar bagi perusahaan ($ 1.000), namun bila ditelusuri lebih lanjut produk A menghasilkan EBITDA  yang  lebih kecil ($ 200) bila dibandingkan EBITDA pada  jasa D ($ 400). Hal ini berarti dengan modal (biaya) operasional yang lebih sedikit, Jasa D menghasilkan keuntungan yang lebih besar  dibandingkan Produk A. 

Dalam teori strategi organisasi, perusahaan harus fokus dan mengkapitalisasi  produk / jasa / unit usaha yang menghasilkan  nilai paling besar . Jasa D sangat potensial untuk terus ditumbuh kembangkan dalam perusahaan. Hal ini juga tercermin dalam Ebitda per Employee dimana Jasa D menghasilkan Ebitda per Employee paling besar ($ 5.00).

Dari matriks ini HRD kemudian bisa memfokuskan investas & strategi dengan memprioritaskan jasa D agar terus dapat tumbuh dan berkembang. Beberapa investasi  / strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan Jasa D diantaranya adalah:
-          penambahan karyawan atau penempatan star employee (talent)  pada Jasa D agar memicu pertumbuhan      keuntungan
-          pemberian pelatihan bagi karyawan yang dapat membantu meningkatkan  kualitas Jasa D bagi pelanggan
-          skema  insentif (bonus) yang dapat memicu motivasi karyawan untuk meningkatkan penjualan Jasa D 
-          strategi lainnya yang membantu untuk memicu pertumbuhan keuntungan Jasa D

Ada yang berpendapat penggunaan RPE dan EBITDA per Employee memiliki kekurangan, karena secara mendasar menggunakan jumlah karyawan sebagai bilangan pembagi. Dengan kata lain kalau Anda ingin mendapatkan RPE dan EBITDA per Employee yang lebih besar kurangi bilangan pembaginya (jumlah karyawan). Hal inilah yang umumnya kemudian menjadi dasar perhitungan dalam merasionalisasi (baca: PHK) jumlah karyawan. Penulis melihat hal ini bisa  benar bisa juga kurang tepat, karena faktanya keterampilan, ketekunan seseorang dalam bekerja bisa beragam. Namun memang perlu diakui perhitungan RPE dan EBITDA per Employee lebih cocok bila diaplikasikan dalam analisa pada tingkat organisasi, karena tidak  bisa membedakan dengan baik dampak individu  yang diberikan oleh satu karyawan dibandingkan dengan karyawan lainnya.

3. Human Capital ROI 

Dr.Jac Fitz-enz, salah satu pakar dalam pengukuran HRD  memberikan wawasan kepada  bahwa kita  bisa mengukur imbal hasil investasi SDM dengan rumus sebagai berikut: 

Human Capital ROI  = Revenue - (Expense - Pay & Benefits) 
                                                 Pay & Benefits

Sebagai contoh, apabila perusahaan Anda pada tahun ini menghasilkan revenue (laba) sebesar $ 500.00, mengeluarkan expense (biaya operasional) sebesar $ 350.000, dan gaji serta tunjangan karyawan sebesar      $ 40.000, maka Human Capital ROI perusahaan Anda bila menggunakan rumus diatas adalah $ 4.75 . Ini berarti setiap $ 1 yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk Gaji & Tunjangan pada tahun ini memberikan  keuntungan bagi  perusahaan sebesar $ 4.75

Kita harus berhati-hati dalam melihat hasil diatas, karena jangan sampai kemudian  mengambil kesimpulan yang salah dimana diperbanyak saja gaji & tunjangan karyawan maka  laba akan naik. Perhitungan ROI akan bermakna bila anda membandingkan dengan data lain seperti performa tahun sebelumnya dan juga untuk analisis lebih lanjut apa yang kemudian mempengaruhi naik turunnya Human Capital ROI perusahaan Anda.

Rumus yang beliau ajukan diatas adalah untuk mengukur imbal hasil investasi  dari biaya Gaji & Tunjangan yang dikeluarkan oleh perusahaan, selain itu beliau juga memberikan banyak matriks lain yang bisa dipergunakan, saya sangat merekomendasikan Anda untuk mempelajari lebih lanjut bukunya.
Break Even Point (BEP) ialah titik impas di mana posisi jumlah pendapatan dan biaya sama atau seimbang sehingga tidak terdapat keuntungan ataupun kerugian dalam suatu perusahaan.
Break Even Point ini digunakan untuk menganalisis proyeksi sejauh mana banyaknya jumlah unit yang diproduksi atau sebanyak apa uang yang harus diterima untuk mendapatkan titik impas atau kembali modal.
Break Event Point memerlukan komponen penghitungan dasar seperti berikut ini:
  1. Fixed Cost. Komponen ini merupakan biaya yang tetap atau konstan jika adanya tindakan produksi atau meskipun perusahaan tidak berproduksi. Contoh biaya ini yaitu biaya tenaga kerja, biaya penyusutan mesin, dll.
  2. Variabel Cost. Komponen ini merupakan biaya per unit yang sifatnya dinamis tergantung dari tindakan volume produksinya. Jika produksi yang direncanakan meningkat, berarti variabel cost pasti akan meningkat. Contoh biaya ini yaitu biaya bahan baku, biaya listrik, dll.
  3. Selling Price. Komponen ini adalah harga jual per unit barang atau jasa yang telah diproduksi.
Rumus yang digunakan untuk analisis Break Event Point ini terdiri dari dua macam sebagai berikut:
  1. Dasar Unit Berapa unit jumlah barang/jasa yang harus dihasilkan untuk mendapat titik impas: BEP = FC /(P-VC)
  2. Dasar Penjualan Berapa rupiah nilai penjualan yang harus diterima untuk mendapat titik impas: FC/ (1 – (VC/P))* Penghitungan (1 – (VC/P)) biasa juga disebut dengan istilah Margin Kontribusi Per Unit.
Agar bisa memahaminya, mari kita praktikkan langsung rumus ini dengan simulasi:
Total Biaya Tetap (FC) senilai Rp 100 juta Total Biaya Variabel (VC) per unit senilai Rp 60 ribu Harga jual barang per unit senilai Rp 80 ribu
Penghitungan BEP Unit
BEP = FC/ (P – VC) BEP = 100.000.000/ (80.000 – 60.000) BEP = Rp 5000
Penghitungan BEP Rupiah
BEP = FC/ (1 – (VC/P)) BEP = 100.000.000/ (1 – (60.000/80.000)) BEP = Rp 400.000.000
Dari analisis inilah perusahaan dapat meramalkan keuntungan yang dapat diperoleh (target laba) berdasarkan berapa penjualan minimumnya. Adapun rumus untuk menghitung target ini sebagai berikut:
BEP – Laba = (FC + Target Laba) / (P – VC)
Mari kita pelajari simulasi untuk menghitung target laba ini. Dengan FC, VC, dan P yang sama dengan contoh sebelumnya, perusahaan ini menargetkan laba sebesar Rp 80 juta per bulan.
BEP – Laba = (FC + Target Laba) / (P – VC) BEP – Laba = (100.000.000 + 80.000.000) / (80.000 – 60.000) BEP – Laba = 180.000.000 / 20.000 BEP – Laba = 9.000 unit atau BEP – Laba = Rp 720 juta (9000 unit x Rp 80.000)
Untuk membuktikan bahwa dengan menjual 9.000 unit perusahaan akan mendapatkan laba Rp 720 juta, mari kita periksa berikut ini: Penjualan Rp 720.000.000 FC Rp 100.000.000 Total VC (Rp 60.000 x 9000 unit) Rp 540.000.000 Total Biaya Rp 640.000.000 Laba Rp 80.000.000
Pengertian Modal dalam Ilmu Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap usaha atau perusahaan membutuhkan dana atau biaya untuk dapat beroperasi. Hal ini sebenarnya menjadi persoalan yang dihadapi hampir semua pengusaha, karena untuk memulai usaha dibutuhkan pengeluaran sejumlah uang sebagai modal awal. Pegeluaran tersebut untuk membeli bahan baku dan penolong, alat-alat dan fasilitas produksi serta pengeluaran operasional lainnya. Melalui barang-barang yang dibeli tersebut perusahaan dapat menghasilkan sejumlah output yang kemudian dapat dijualnya untuk mendapat sejumlah uang pengembalian modal dan keuntungan. Bagian keuntungan ini sebagian digunakan untuk memperbesar modal agar menghasilkan uang sebagai keuntungan dalam jumlah yang lebih besar lagi, dan seterusnya begitu sampai pengusaha mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan atau target (Achmad, 2009). 
Tulus (2002) menjelaskan bahwa modal adalah salah satu faktor produksi yang sangat penting bagi setiap usaha, baik skala kecil, menengah maupun besar. Sedangkan Neti (2009) menyebutkan bahwa dalam memulai suatu usaha, modal merupakan salah satu faktor penting disamping faktor lainnya, sehingga suatu usaha bisa tidak berjalan apabila tidak tersedia modal. Artinya, bahwa suatu usaha tidak akan pernah ada atau tidak dapat berjalan tanpa adanya modal. Hal ini menggambarkan bahwa modal menjadi faktor utama dan penentu dari suatu kegiatan usaha. Karenanya setiap orang yang akan melakukan kegiatan usaha, maka langkah utama yang dilakukannya adalah memikirkan dan mencari modal untuk usahanya.

Menurut Prawirosentono (2002 dalam Neti, 2009) modal merupakan kekayaan yang dimiliki perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan pada waktu yang akan datang dan dinyatakan dalam nilai uang. Modal dalam bentuk uang pada suatu usaha mengalami perubahan bentuk sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan usaha, yakni: (1) sebagian dibelikan tanah dan bangunan; (2) sebagian dibelikan persediaan bahan; (3) sebagian dibelikan mesin dan peralatan; dan (4) sebagian lagi disimpan dalam bentuk uang tunai. 
Selain sebagai bagian terpenting di dalam proses produksi, modal juga merupakan faktor utama dan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam pengembangan perusahaan. Hal ini dicapai melalui peningkatan jumlah produksi yang menghasilkan keuntungan atau laba bagi pengusaha (Achmad, 2009).

Dengan tersedianya modal maka usaha akan berjalan lancar sehingga akan mengembangkan modal itu sendiri melaui suatu proses kegiatan usaha. Modal yang digunakan dapat merupakan modal sendiri seluruhnya atau merupakan kombinasi antara modal sendiri dengan modal pinjaman. Kumpulan berbagai sumber modal akan membentuk suatu kekuatan modal yang ditanamkan guna menjalankan usaha. Modal yang dimiliki tersebut jika dikelola secara optimal maka akan meningkatkan volume penjualan (Riyanto, 1985 dalam Achmad, 2009).
Terdapat pula adanya penggunaan istilah modal untuk mengacu kepada arti yang lebih khusus, misalnya modal sosial dan modal manusia. Istilah yang pertama mengacu kepada jenis modal yang tersedia bagi kepentingan umum, seperti rumah sakit, gedung sekolah, jalan raya dan sebagainya, sedangkan istilah yang kedua mengacu kepada faktor manusia produktif yang mencakup faktor kecakapan dan keterampilan manusia. Menyelenggarakan pendidikan misalnya, disebut sebagai suatu investasi dalam modal manusia (www.ut.ac.id, 2011:1-4).
Istilah modal berbeda artinya dalam percakapan sehari-hari dan dalam ilmu ekonomi. Modal (capital) sering ditafsirkan sebagai uang. Terutama apabila mempersoalkan pembelian peralatan, mesin-mesin, atau fasilitas-fasilitas produktif lain. Adalah lebih tepat untuk menyatakan uang yang digunakan untuk melaksanakan pembelian tersebut sebagai modal finansial (financial capital). Seorang ahli ekonomi akan menyatakan pembelian demikian sebagai investasi. Para ekonom menggunakan istilah modal untuk semua alat bantu yang digunakan dalam bidang produksi (Winardi, 1995).
Adakalanya modal dinamakan barang-barang investasi, dan modal demikian terdiri dari: 
  • Mesin-mesin 
  • Peralatan 
  • Bangunan-bangunan 
  • Fasilitas-fasilitas transpor dan distribusi 
  • Persediaan (inventaris) barang-barang setengah jadi 

Ada suatu ciri pokok barang-barang modal yaitu bahwa mereka digunakan untuk memproduksi barang-barang lain.
Menurut Prof. Dr. H.M.H.A. van der Valk (Winardi, 1995), modal dalam arti luas adalah bagian daripada arus benda-benda dan jasa-jasa yang langsung, yang ditujukan guna penyediaan benda-benda material dan immaterial yang berkemampuan untuk memberikan prestasi-prestasi ekonomi pada masa yang akan datang. Modal dalam arti sempit adalah alat-alat produksi yang telah diproduksi. Dalam arti yang lebih luas modal berarti pula setiap penambahan dalam pengetahuan yang menyebabkan prestasi ekonomi pada masa yang akan datang bertambah. 
Pengertian dan Jenis Biaya Operasional
Mulyadi (2000 : 84), Mengemukakan pengertian biaya operasional sebagai biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual. Contohnya adalah biaya depresiasi mesin, equipmen, biaya bahan baku, biaya bahan penolong, biaya gaji karyawan yang bekerja dalam bagian-bagian baik yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan proses produksi.
Menurut obyek pengeluarannya secara garis besar biaya produksi dibagi menjadi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik. Biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung disebut pula dengan istilah biaya utama, sedangkan biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik seringpula disebut dengan istilah biaya konversi yang merupakan biaya untuk mengkonversi (mengubah) bahan baku menjadi produk jadi.
Menurut Sudarsono dan Edillius (2001 : 201), Menyatakan bahwa biaya operasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk biaya operasional usaha suatu perusahaan. Biaya operasi ini dikelompokkan menjadi :
1.      Biaya tetap (fixed), yaitu biaya yang jumlahnya tetap dalam kisaran volume kegiatan tertentu. Seperti biaya gaji karyawan yang jumlahya senantiasa tetap berapapun berubahnya volume kegiatan.
2.      Biaya semi tetap (semi fixed), yaitu biaya yang tetap untuk tingkat volume kegiatan tertentu dan perubahan dengan jumlah yang konstan pada volume produksi tertentu.
3.      Biaya variabel, yaitu biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Contoh biaya variabel adalah biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung.
4.      Biaya semi variabel, yaitu biaya yang berubah tidak sebanding dengan perubahan volume kegiatan.
Biaya semi variabel mengandung unsur biaya tetap dan unsur biaya variabel. Sebagai contoh dari biaya ini adalah biaya lembur, biaya bonus bagi karyawan yang mencapai pestasi tertentu.
Selanjutnya, pengertian biaya operasional menurut Matz (1999 : 44), Adalah semua biaya yang dikeluarkan mulai dari pembelian bahan baku kemudian diolah menjadi bahan jadi, selanjutnya biaya operasional dapat dibagi atas tiga bagian :
a.       Direct labour cost atau biaya tenaga kerja
Jenis biaya ini juga dikatakan sebagai biaya tenaga kerja secara langsung dapat diidentifikasikan terhadap produk tertentu.
b.      Direct material cost atau biaya bahan langsung
Yaitu semua bahan baku yang dapat secara langsung dimasukkan dalam perhitungan harga pokok.
c.       Manufacturing overhead cost
Biaya ini adalah merupakan biaya dari bahan tidak langsung dimasukkan dalam perhitungan harga pokok.

Break Event Point (BEP), atau lebih dikenal dengan titik pulang pokok adalah seuatu kondisi dimana jumlah pendapatan dan jumlah pengeluaran adalah seimbang. Secara umum perhitungan analisa pulang Pokok adalah menyamakan nilai Total Pendapatan (TR) dan Nilai Total Biaya (TC).
Nilai Total Pendapatan (TR= total revenue) adalah merupakan jumlah uang yang diterima dari penjualan suatu produk yanitu perkalian antara jumlah harga (P) dan jumlah barang (Q) atau dapat dirumuskan sebagai TR = P x Q (1) , dimana TR adalah total revenue (total Pendapatan ) , P adalah Harga jual produk dan Q adalah jumlah barang.
Nilai Total Biaya (TC=Total Cost) adalah merupakan jumlah biaya total yang diperlukan untuk suatu produk. Total biaya adalah merupakan jumlah dari biaya Tetap (Fixced Cost) dan Biaya Variabel (Variable Cost).

Biaya tetap adalah merupakan jumlah dari komponen biaya yang jumlahnya relative tetap pada setiap periode, baik periode bulan atau tahun. Biaya Variabel adala komponen biaya yang jumlahnya bervariasi tergantung pada jumlah barang yang diproduksi.
Jadi jika dirumuskan maka:
TC = FC + V.Q (2)
Dimana TC adalah total biaya, FC adalah biaya tetap dan V adalah biaya Variabel dan Q adalah jumlah barang
Break event point didapatakan ketika jumlah Pendapatan sama dengan jumlah Biaya, atau TR= TC. Jika persamaan 1 dan 2 dimasukan maka P.Q = FC+V.Q ; Q(P-V)=FC ; dan Q = FC/(P-V). dimana Q adalah jumlah barang, FC adalah biaya tetap, V adalah biaya Variabel dan P adalah harga barang.
      
Dalam aplikasi bisnis
maka rumusan diatas sudah dapat memberikan gambaran umum perhitungan BEP, tetapi belum dapat langsung untuk diterapkan. Sebagai contoh dalam menentukan biaya tetap, maka harus dilakukan break down lagi , komponen biaya apakah yang dapat dimasukan ke dalam golongan Biaya tetap. Begitu pula ketika menetukan biaya variable yang merupakan biaya yang langsung berhubungan dengan biaya produksi. Diperlukan analisa yang detail dan cermat untuk menentukan komponen masing-masing biaya. Hal ini juga dikarenakan komponen biaya pada masing masing produk adalah berbeda beda.
Sebagai contoh ilustrasi adalah menghitung break event point untuk usaha Penjualan Nasi Goreng, maka komponen biaya tetap dan biaya variable dapat dikelompokan sebagai berikut:
Biaya Variabel :
-          Nasi Rp. 1.500
-          Bumbu Rp. 500
-          Minyak Goreng Rp. 500
-          Ayam Rp. 1.000
-          Telor Rp. 500
-          Bungkus Rp. 500
-          Ongkos kerja Rp. 500

Jumlah Rp. 5.000

Jumlah biaya untuk membuat satu porsi nasi Goreng adalah Rp. 5.000,-

Biaya Tetap : terdiri atas
-          Sewa tempat Rp. 1.000.000/ bln
-          Gaji Pegawai Rp. 1.000.000/ bln
-          PDAM Rp. 50.000/bln
-          Telepon Rp. 100.000/ bln
-          Pengadaan Peralatan Masak Rp. 1.000.000/ bln

Jumlah Rp. 3.150.000/ bln

Jumlah biaya tetap yang harus dibayar per bulan adalah Rp. 3.150.000,-
Yang menjadi pertanyaan adalah , berapa nasi goreng yang harus terjual per bulan untuk BEP, jika harga jual nasi Goreng per porsi Rp. 7.000,-
Perhitungan:
TR = TC
P.Q= FC + V.Q
7.000 .Q = 3.150.000 + 5.000 x Q
7000Q-5000Q = 3.150
2000Q = 3.150
Q = 3150/2000
Q= 1575 porsi
Jadi untuk BEP maka setiap bulan harus dapat terjual sebanyak 1575 porsi atau 52,5 porsi per hari.
Keutungan usaha adalah jika mampu untuk menjual lebih dari Q pada BEP
Untuk kasus bisnis yang lainnya maka, tentu memerlukan rincian yang berbeda dan banhkan akan memerlukan perhitungan yang lebih rumit jika perusahaan yang ditangani besar dan jumlah produk bervariasi.

You Might Also Like

1 comment: