RUMUS MENGHITUNG BIAYA PRODUKSI (Part 2)
Setelah
diketahui tarif biaya overhead bagi masing-masing bagian produksi, maka dapat
dihitung harga pokok produksi barang A dan B sebagai berikut:
Untuk dapat menghitung keuntungan perusahaan dari investasi
yang dikeluarkan bagi anggaran SDM kita dapat menggunakan 3 indikator
(matriks):
1.
Keuntungan Perusahaan per Karyawan (Revenue per employee)
2.
EBITDA per karyawan (EBITDA per Employee)
3.
Imbal Hasil Investasi SDM (Human Capital ROI)
1. Revenue per employee
Salah satu indikator yang sudah dikenal di dunia keuangan
adalah RPE (Revenue Per Employee), yang bila di bahasa Indonesiakan adalah laba
perusahaan per karyawan, dihitung dengan menggunakan rumus:
Laba Perusahaan Per Karyawan = Keuntungan
Perusahaan
Jumlah
Karyawan
Apabila perusahaan Anda mendapatkan laba pada tahun 2010
sebesar Rp.5.000.000.000 dan Anda memiliki karyawan sejumlah 100 orang, maka
keuntungan perusahaan perusahaan per karyawan (RPE) Anda pada tahun 2010
sebesar Rp. 50.000.000. Dengan kata lain setiap 1 orang karyawan di perusahaan
Anda, menyumbangkan keuntungan pada perusahaan sebesar
Rp.50.000.000. Agar lebih bermakna dalam penggunaan RPE, Anda bisa
membandingkannya dengan tahun sebelum atau sesudahnya. Sebagai contoh, pada
tahun 2011 perusahaan Anda membukukan laba sebesar Rp. 6.500.000.000, naik 1,5
milyar dari tahun 2010. Jumlah karyawan Anda di tahun 2011 ternyata juga
bertambah 40 orang dibandingkan tahun 2010 sehingga total menjadi 140 orang
karyawan. Setelah dihitung RPE perusahaan Anda di tahun 2011 adalah
Rp.46.428.571 (6,5 milyar / 140).
Ternyata setelah dibandingkan, RPE 2011 (Rp.46.428.571)
justru turun dari RPE 2010 (Rp.50.000.000). Bila tidak ada faktor luar lain
yang mempengaruhi (krisis ekonomi, regulasi baru, dll). Maka Anda bisa
menarik kesimpulan penambahan 40 orang karyawan pada tahun 2011 tidak
benar-benar membantu meningkatkan keuntungan perusahaan. Dengan informasi
ini Anda kemudian bisa mengeksplorasi lebih lanjut apa yang menjadi penyebab
permasalahan apakah itu pembagian tugas yang kurang efektif, produktifitas yang
kurang optimal karena kurangnya pelatihan, komunikasi kerja yang kurang
kondusif, dll. Sehingga Anda kemudian bisa mengambil langkah
konstruktif perbaikan lebih lanjut.
Selain itu, Informasi RPE ini bisa menjadi salah satu
pertimbangan dalam menentukan jumlah karyawan pada tahun berikutnya (man power
planning). Sebagai contoh bila pada tahun 2010 perusahaan Anda memiliki RPE
Rp.50,000.000 per karyawan dan pada tahun 2011 Anda merencanakan laba
sebesar Rp. 6,5 milyar maka untuk mencapai RPE setidaknya sama dengan tahun
2010, jumlah karyawan Anda di tahun 2011 tidak boleh
lebih dari 130 orang (Rp.6,5 milyar / Rp.50 juta). Dengan kata lain,
jumlah karyawan baru yang Anda bisa rekrut pada tahun 2011 adalah 30
karyawan.
Selain untuk menghitung efektifitas jumlah karyawan secara
internal, RPE juga dapat digunakan untuk membandingkan seberapa kompetitif
karyawan Perusahaan Anda menghasilkan keutungan, bila dibandingkan dengan
karyawan perusahaan lain pada industri Anda. Kita perhatikan ilustrasi tabel
berikut
Perusahaan Anda
|
Perusahaan B
|
Perusahaan C
|
|
Revenue
|
Rp5.000.000.000
|
Rp7.500.000.000
|
Rp4.000.000.000
|
# Karyawan
|
100
|
180
|
65
|
RPE
|
Rp50.000.000
|
Rp41.666.667
|
Rp61.538.462
|
Dari tabel ilustrasi diatas kita dapat melihat bahwa
perusahaan Anda dari segi RPE lebih besar dibandingkan perusahaan B walaupun
Revenue yang dihasilkan oleh perusahaan B lebih besar dari pada perusahaan
Anda, ini berarti dari segi produktifitas karyawan Anda menghasilkan keuntungan
lebih banyak dibandingkan perusahaan B. Kalau kita melihat RPE
perusahaan C, kita bisa melihat karyawan perusahaan C lebih produktif
menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan karyawan perusahaan Anda,
karena RPE karyawan perusahaan C ebih besar dibandingkan perusahaan Anda,
walaupun untungnya ebih kecil.
Dari analisis sederhana ini, RPE bisa menjadi "salah
satu" masukan untuk merancang strategi penambahan karyawan yang
sekiranya ideal dan kompetitif dibandingkan dengan perusahaan saingan di
industri Anda. Bila Anda akan menggunakan RPE dalam analisa Anda,
perlu dipahami beberapa hal, pastikan perbandingan yang Anda
lakukan apple to apple. Dengan
kata lain perusahan perbaindingan adalah perusahaan yang serupa /
sejenis, agar kemudian penarikan kesimpulan yang diambil bisa relevan.
Selain itu, kalau Anda tanya ahli keuangan bisa jadi "Revenue" tidak sepenuhnya
mencerminkan keuntungan perusahaan, karena secara pencatatan keuangan bisa saja
ada pemasukan lain di perusahaan yang tidak bersumber dari kinerja operasionalnya.
Beberapa ahli juga menganggap bahwa revenue bisa kurang riiil karena
faktor-faktor seperti depresiasi, amortisasi, ataupun pajak yang bisa jadi
sangat berbeda antar satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Oleh
karena itu indikator lain yang bisa digunakan adalah untuk melihat lebih lanjut
keuntungan perusahaan per karyawan adalah EBITDA.
2. EBITDA per employee
EBITDA adalah akronim dari Earning Before Income Tax Depreciation & Amortization, dengan
kata lain pemasukan perusahaan sebelum dikurangi pajak, depresiasi dan
amortisasi. Penggunaan perhitungan EBITDA dalam menghitung keuntungan
perusahaan per karyawan bisa memberikan wawasan yang menarik
mengenai keuntungan perusahaan per karyawan, khususnya bila
kita akan melihat kinerja per produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan.
Josh Letourneau memberikan penjelasan
yang sangat baik dalam menganalisa menggunakan EBITDA. Oleh
karena itu saya hanya akan mengulas ulang apa yang sudah beliau jelaskan.
Sebagai Contoh perusahaan Anda menghasilkan 3 Produk
(A, B, C) dan 2 jasa (D & E), dengan revenue, EBITDA, dan EBITDA per employee sebagai berikut:
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
Jasa D
|
Jasa E
|
|
Revenue
|
$1,000
|
$800
|
$1,500
|
$500
|
$300
|
EBITDA
|
$200
|
$300
|
$150
|
$400
|
$100
|
# of employee
|
133
|
150
|
300
|
80
|
50
|
EBITDA/Employee
|
$1.50
|
$2.00
|
$0.50
|
$5.00
|
$2.00
|
Bila kita hanya melihat dari segi laba saja, kita mengetahui
bahwa Produk A adalah produk penghasil pemasukan terbesar bagi perusahaan ($
1.000), namun bila ditelusuri lebih lanjut produk A menghasilkan EBITDA
yang lebih kecil ($ 200) bila dibandingkan EBITDA pada jasa D
($ 400). Hal ini berarti dengan modal (biaya) operasional yang lebih sedikit,
Jasa D menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan Produk
A.
Dalam teori strategi organisasi, perusahaan harus fokus dan
mengkapitalisasi produk / jasa / unit usaha yang menghasilkan nilai
paling besar . Jasa D sangat potensial untuk terus ditumbuh kembangkan dalam
perusahaan. Hal ini juga tercermin dalam Ebitda per Employee dimana Jasa D menghasilkan Ebitda per Employee paling besar
($ 5.00).
Dari matriks ini HRD kemudian bisa memfokuskan investas
& strategi dengan memprioritaskan jasa D agar terus dapat tumbuh dan
berkembang. Beberapa investasi / strategi yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan Jasa D diantaranya adalah:
-
penambahan karyawan atau
penempatan star employee (talent)
pada Jasa D agar memicu pertumbuhan
keuntungan
-
pemberian pelatihan bagi karyawan
yang dapat membantu meningkatkan kualitas Jasa D bagi pelanggan
-
skema insentif (bonus) yang
dapat memicu motivasi karyawan untuk meningkatkan penjualan Jasa D
-
strategi lainnya yang membantu untuk
memicu pertumbuhan keuntungan Jasa D
Ada yang berpendapat penggunaan RPE dan EBITDA
per Employee memiliki kekurangan, karena secara mendasar
menggunakan jumlah karyawan sebagai bilangan pembagi. Dengan kata lain kalau
Anda ingin mendapatkan RPE dan EBITDA per Employee yang lebih
besar kurangi bilangan pembaginya (jumlah karyawan). Hal inilah yang umumnya
kemudian menjadi dasar perhitungan dalam merasionalisasi (baca: PHK) jumlah
karyawan. Penulis melihat hal ini bisa benar bisa juga kurang tepat,
karena faktanya keterampilan, ketekunan seseorang dalam bekerja bisa beragam.
Namun memang perlu diakui perhitungan RPE dan EBITDA
per Employee lebih cocok bila diaplikasikan dalam analisa pada tingkat
organisasi, karena tidak bisa membedakan dengan baik dampak individu
yang diberikan oleh satu karyawan dibandingkan dengan karyawan lainnya.
3. Human Capital ROI
Dr.Jac Fitz-enz, salah satu pakar dalam pengukuran HRD
memberikan wawasan kepada bahwa kita bisa mengukur imbal
hasil investasi SDM dengan rumus sebagai berikut:
Human Capital ROI = Revenue
- (Expense - Pay & Benefits)
Pay
& Benefits
Sebagai contoh, apabila perusahaan Anda pada tahun ini
menghasilkan revenue (laba) sebesar $ 500.00,
mengeluarkan expense (biaya
operasional) sebesar $ 350.000, dan gaji serta tunjangan karyawan sebesar
$ 40.000, maka Human Capital ROI perusahaan Anda bila
menggunakan rumus diatas adalah $ 4.75 . Ini berarti setiap $ 1 yang
dikeluarkan oleh perusahaan untuk Gaji & Tunjangan pada tahun ini
memberikan keuntungan bagi perusahaan sebesar $ 4.75
Kita harus berhati-hati dalam melihat hasil diatas, karena
jangan sampai kemudian mengambil kesimpulan yang salah dimana diperbanyak
saja gaji & tunjangan karyawan maka laba akan naik. Perhitungan ROI
akan bermakna bila anda membandingkan dengan data lain seperti performa tahun
sebelumnya dan juga untuk analisis lebih lanjut apa yang kemudian mempengaruhi
naik turunnya Human Capital ROI perusahaan Anda.
Rumus yang beliau ajukan diatas adalah untuk mengukur imbal
hasil investasi dari biaya Gaji & Tunjangan yang dikeluarkan oleh
perusahaan, selain itu beliau juga memberikan banyak matriks lain yang bisa
dipergunakan, saya sangat merekomendasikan Anda untuk mempelajari lebih lanjut bukunya.
Break Even Point (BEP) ialah
titik impas di mana posisi jumlah pendapatan dan biaya sama atau seimbang
sehingga tidak terdapat keuntungan ataupun kerugian dalam suatu perusahaan.
Break Even Point ini digunakan
untuk menganalisis proyeksi sejauh mana banyaknya jumlah unit yang diproduksi
atau sebanyak apa uang yang harus diterima untuk mendapatkan titik impas atau
kembali modal.
Break Event Point memerlukan
komponen penghitungan dasar seperti berikut ini:
- Fixed Cost. Komponen ini merupakan biaya yang tetap atau konstan jika adanya tindakan produksi atau meskipun perusahaan tidak berproduksi. Contoh biaya ini yaitu biaya tenaga kerja, biaya penyusutan mesin, dll.
- Variabel Cost. Komponen ini merupakan biaya per unit yang sifatnya dinamis tergantung dari tindakan volume produksinya. Jika produksi yang direncanakan meningkat, berarti variabel cost pasti akan meningkat. Contoh biaya ini yaitu biaya bahan baku, biaya listrik, dll.
- Selling Price. Komponen ini adalah harga jual per unit barang atau jasa yang telah diproduksi.
Rumus yang digunakan untuk analisis
Break Event Point ini terdiri dari dua macam sebagai berikut:
- Dasar Unit Berapa unit jumlah barang/jasa yang harus dihasilkan untuk mendapat titik impas: BEP = FC /(P-VC)
- Dasar Penjualan Berapa rupiah nilai penjualan yang harus diterima untuk mendapat titik impas: FC/ (1 – (VC/P))* Penghitungan (1 – (VC/P)) biasa juga disebut dengan istilah Margin Kontribusi Per Unit.
Agar bisa memahaminya, mari kita
praktikkan langsung rumus ini dengan simulasi:
Total Biaya Tetap (FC) senilai Rp
100 juta Total Biaya Variabel (VC) per unit senilai Rp 60 ribu Harga jual
barang per unit senilai Rp 80 ribu
Penghitungan BEP Unit
BEP = FC/ (P – VC) BEP =
100.000.000/ (80.000 – 60.000) BEP = Rp 5000
Penghitungan BEP Rupiah
BEP = FC/ (1 – (VC/P)) BEP =
100.000.000/ (1 – (60.000/80.000)) BEP = Rp 400.000.000
Dari analisis inilah perusahaan
dapat meramalkan keuntungan yang dapat diperoleh (target laba) berdasarkan
berapa penjualan minimumnya. Adapun rumus untuk menghitung target ini sebagai
berikut:
BEP – Laba = (FC + Target Laba) / (P
– VC)
Mari kita pelajari simulasi untuk
menghitung target laba ini. Dengan FC, VC, dan P yang sama dengan contoh
sebelumnya, perusahaan ini menargetkan laba sebesar Rp 80 juta per bulan.
BEP – Laba = (FC + Target Laba) / (P
– VC) BEP – Laba = (100.000.000 + 80.000.000) / (80.000 – 60.000) BEP – Laba =
180.000.000 / 20.000 BEP – Laba = 9.000 unit atau BEP – Laba = Rp 720 juta
(9000 unit x Rp 80.000)
Untuk membuktikan bahwa dengan
menjual 9.000 unit perusahaan akan mendapatkan laba Rp 720 juta, mari kita
periksa berikut ini: Penjualan Rp 720.000.000 FC Rp 100.000.000 Total VC (Rp
60.000 x 9000 unit) Rp 540.000.000 Total Biaya Rp 640.000.000 Laba Rp
80.000.000
Pengertian Modal dalam Ilmu Ekonomi
Tidak
dapat dipungkiri bahwa setiap usaha atau perusahaan membutuhkan dana atau biaya
untuk dapat beroperasi. Hal ini sebenarnya menjadi persoalan yang dihadapi
hampir semua pengusaha, karena untuk memulai usaha dibutuhkan pengeluaran
sejumlah uang sebagai modal awal. Pegeluaran tersebut untuk membeli bahan baku
dan penolong, alat-alat dan fasilitas produksi serta pengeluaran operasional
lainnya. Melalui barang-barang yang dibeli tersebut perusahaan dapat
menghasilkan sejumlah output yang kemudian dapat dijualnya untuk mendapat
sejumlah uang pengembalian modal dan keuntungan. Bagian keuntungan ini sebagian
digunakan untuk memperbesar modal agar menghasilkan uang sebagai keuntungan
dalam jumlah yang lebih besar lagi, dan seterusnya begitu sampai pengusaha mendapatkan
hasil sesuai yang diinginkan atau target (Achmad, 2009).
Tulus
(2002) menjelaskan bahwa modal adalah salah satu faktor produksi yang sangat
penting bagi setiap usaha, baik skala kecil, menengah maupun besar. Sedangkan
Neti (2009) menyebutkan bahwa dalam memulai suatu usaha, modal merupakan salah
satu faktor penting disamping faktor lainnya, sehingga suatu usaha bisa tidak
berjalan apabila tidak tersedia modal. Artinya, bahwa suatu usaha tidak akan
pernah ada atau tidak dapat berjalan tanpa adanya modal. Hal ini menggambarkan
bahwa modal menjadi faktor utama dan penentu dari suatu kegiatan usaha.
Karenanya setiap orang yang akan melakukan kegiatan usaha, maka langkah utama
yang dilakukannya adalah memikirkan dan mencari modal untuk usahanya.
Menurut Prawirosentono (2002 dalam Neti, 2009) modal merupakan kekayaan yang dimiliki perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan pada waktu yang akan datang dan dinyatakan dalam nilai uang. Modal dalam bentuk uang pada suatu usaha mengalami perubahan bentuk sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan usaha, yakni: (1) sebagian dibelikan tanah dan bangunan; (2) sebagian dibelikan persediaan bahan; (3) sebagian dibelikan mesin dan peralatan; dan (4) sebagian lagi disimpan dalam bentuk uang tunai.
Menurut Prawirosentono (2002 dalam Neti, 2009) modal merupakan kekayaan yang dimiliki perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan pada waktu yang akan datang dan dinyatakan dalam nilai uang. Modal dalam bentuk uang pada suatu usaha mengalami perubahan bentuk sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan usaha, yakni: (1) sebagian dibelikan tanah dan bangunan; (2) sebagian dibelikan persediaan bahan; (3) sebagian dibelikan mesin dan peralatan; dan (4) sebagian lagi disimpan dalam bentuk uang tunai.
Selain
sebagai bagian terpenting di dalam proses produksi, modal juga merupakan faktor
utama dan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam pengembangan
perusahaan. Hal ini dicapai melalui peningkatan jumlah produksi yang
menghasilkan keuntungan atau laba bagi pengusaha (Achmad, 2009).
Dengan tersedianya modal maka usaha akan berjalan lancar sehingga akan mengembangkan modal itu sendiri melaui suatu proses kegiatan usaha. Modal yang digunakan dapat merupakan modal sendiri seluruhnya atau merupakan kombinasi antara modal sendiri dengan modal pinjaman. Kumpulan berbagai sumber modal akan membentuk suatu kekuatan modal yang ditanamkan guna menjalankan usaha. Modal yang dimiliki tersebut jika dikelola secara optimal maka akan meningkatkan volume penjualan (Riyanto, 1985 dalam Achmad, 2009).
Dengan tersedianya modal maka usaha akan berjalan lancar sehingga akan mengembangkan modal itu sendiri melaui suatu proses kegiatan usaha. Modal yang digunakan dapat merupakan modal sendiri seluruhnya atau merupakan kombinasi antara modal sendiri dengan modal pinjaman. Kumpulan berbagai sumber modal akan membentuk suatu kekuatan modal yang ditanamkan guna menjalankan usaha. Modal yang dimiliki tersebut jika dikelola secara optimal maka akan meningkatkan volume penjualan (Riyanto, 1985 dalam Achmad, 2009).
Terdapat
pula adanya penggunaan istilah modal untuk mengacu kepada arti yang lebih
khusus, misalnya modal sosial dan modal manusia. Istilah yang pertama mengacu
kepada jenis modal yang tersedia bagi kepentingan umum, seperti rumah sakit,
gedung sekolah, jalan raya dan sebagainya, sedangkan istilah yang kedua mengacu
kepada faktor manusia produktif yang mencakup faktor kecakapan dan keterampilan
manusia. Menyelenggarakan pendidikan misalnya, disebut sebagai suatu investasi
dalam modal manusia (www.ut.ac.id, 2011:1-4).
Istilah
modal berbeda artinya dalam percakapan sehari-hari dan dalam ilmu ekonomi.
Modal (capital) sering ditafsirkan sebagai uang. Terutama apabila mempersoalkan
pembelian peralatan, mesin-mesin, atau fasilitas-fasilitas produktif lain.
Adalah lebih tepat untuk menyatakan uang yang digunakan untuk melaksanakan
pembelian tersebut sebagai modal finansial (financial capital). Seorang ahli
ekonomi akan menyatakan pembelian demikian sebagai investasi. Para ekonom
menggunakan istilah modal untuk semua alat bantu yang digunakan dalam bidang
produksi (Winardi, 1995).
Adakalanya
modal dinamakan barang-barang investasi, dan modal demikian terdiri dari:
- Mesin-mesin
- Peralatan
- Bangunan-bangunan
- Fasilitas-fasilitas transpor dan distribusi
- Persediaan (inventaris) barang-barang setengah jadi
Ada suatu ciri pokok barang-barang modal yaitu bahwa mereka digunakan untuk memproduksi barang-barang lain.
Menurut Prof. Dr. H.M.H.A. van der Valk (Winardi, 1995),
modal dalam arti luas adalah bagian daripada arus benda-benda dan jasa-jasa
yang langsung, yang ditujukan guna penyediaan benda-benda material dan
immaterial yang berkemampuan untuk memberikan prestasi-prestasi ekonomi pada
masa yang akan datang. Modal dalam arti sempit adalah alat-alat produksi yang
telah diproduksi. Dalam arti yang lebih luas modal berarti pula setiap
penambahan dalam pengetahuan yang menyebabkan prestasi ekonomi pada masa yang
akan datang bertambah.
Pengertian dan Jenis Biaya
Operasional
Mulyadi
(2000 : 84), Mengemukakan pengertian biaya operasional sebagai biaya-biaya yang
terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual.
Contohnya adalah biaya depresiasi mesin, equipmen, biaya bahan baku, biaya
bahan penolong, biaya gaji karyawan yang bekerja dalam bagian-bagian baik yang
langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan proses produksi.
Menurut
obyek pengeluarannya secara garis besar biaya produksi dibagi menjadi biaya
bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik. Biaya bahan
baku dan biaya tenaga kerja langsung disebut pula dengan istilah biaya utama,
sedangkan biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik seringpula disebut
dengan istilah biaya konversi yang merupakan biaya untuk mengkonversi
(mengubah) bahan baku menjadi produk jadi.
Menurut
Sudarsono dan Edillius (2001 : 201), Menyatakan bahwa biaya operasi merupakan
biaya yang dikeluarkan untuk biaya operasional usaha suatu perusahaan. Biaya
operasi ini dikelompokkan menjadi :
1.
Biaya
tetap (fixed), yaitu biaya yang jumlahnya tetap dalam kisaran volume kegiatan
tertentu. Seperti biaya gaji karyawan yang jumlahya senantiasa tetap berapapun
berubahnya volume kegiatan.
2.
Biaya semi
tetap (semi fixed), yaitu biaya yang tetap untuk tingkat volume kegiatan
tertentu dan perubahan dengan jumlah yang konstan pada volume produksi
tertentu.
3.
Biaya
variabel, yaitu biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan
volume kegiatan. Contoh biaya variabel adalah biaya bahan baku dan biaya tenaga
kerja langsung.
4.
Biaya
semi variabel, yaitu biaya yang berubah tidak sebanding dengan perubahan volume
kegiatan.
Biaya
semi variabel mengandung unsur biaya tetap dan unsur biaya variabel. Sebagai
contoh dari biaya ini adalah biaya lembur, biaya bonus bagi karyawan yang
mencapai pestasi tertentu.
Selanjutnya,
pengertian biaya operasional menurut Matz (1999 : 44), Adalah semua biaya yang
dikeluarkan mulai dari pembelian bahan baku kemudian diolah menjadi bahan jadi,
selanjutnya biaya operasional dapat dibagi atas tiga bagian :
a.
Direct
labour cost atau biaya tenaga kerja
Jenis
biaya ini juga dikatakan sebagai biaya tenaga kerja secara langsung dapat
diidentifikasikan terhadap produk tertentu.
b.
Direct
material cost atau biaya bahan langsung
Yaitu
semua bahan baku yang dapat secara langsung dimasukkan dalam perhitungan harga
pokok.
c.
Manufacturing
overhead cost
Biaya ini
adalah merupakan biaya dari bahan tidak langsung dimasukkan dalam perhitungan
harga pokok.
Break Event Point (BEP), atau
lebih dikenal dengan titik pulang pokok adalah seuatu kondisi dimana jumlah
pendapatan dan jumlah pengeluaran adalah seimbang. Secara umum perhitungan
analisa pulang Pokok adalah menyamakan nilai Total Pendapatan (TR) dan Nilai
Total Biaya (TC).
Nilai Total Pendapatan (TR=
total revenue) adalah merupakan jumlah uang yang diterima dari penjualan suatu
produk yanitu perkalian antara jumlah harga (P) dan jumlah barang (Q) atau
dapat dirumuskan sebagai TR = P x Q (1) , dimana TR adalah total revenue (total
Pendapatan ) , P adalah Harga jual produk dan Q adalah jumlah barang.
Nilai Total Biaya (TC=Total
Cost) adalah merupakan jumlah biaya total yang diperlukan untuk suatu produk.
Total biaya adalah merupakan jumlah dari biaya Tetap (Fixced Cost) dan Biaya
Variabel (Variable Cost).
Biaya tetap adalah merupakan jumlah
dari komponen biaya yang jumlahnya relative tetap pada setiap periode, baik
periode bulan atau tahun. Biaya Variabel adala komponen biaya yang jumlahnya bervariasi
tergantung pada jumlah barang yang diproduksi.
Jadi jika dirumuskan maka:
TC = FC + V.Q (2)
Dimana TC adalah total biaya, FC
adalah biaya tetap dan V adalah biaya Variabel dan Q adalah jumlah barang
Break event point didapatakan ketika
jumlah Pendapatan sama dengan jumlah Biaya, atau TR= TC. Jika persamaan 1 dan 2
dimasukan maka P.Q = FC+V.Q ; Q(P-V)=FC ; dan Q = FC/(P-V). dimana Q adalah
jumlah barang, FC adalah biaya tetap, V adalah biaya Variabel dan P adalah
harga barang.
Dalam aplikasi bisnis maka rumusan diatas sudah dapat memberikan gambaran umum perhitungan BEP, tetapi belum dapat langsung untuk diterapkan. Sebagai contoh dalam menentukan biaya tetap, maka harus dilakukan break down lagi , komponen biaya apakah yang dapat dimasukan ke dalam golongan Biaya tetap. Begitu pula ketika menetukan biaya variable yang merupakan biaya yang langsung berhubungan dengan biaya produksi. Diperlukan analisa yang detail dan cermat untuk menentukan komponen masing-masing biaya. Hal ini juga dikarenakan komponen biaya pada masing masing produk adalah berbeda beda.
Dalam aplikasi bisnis maka rumusan diatas sudah dapat memberikan gambaran umum perhitungan BEP, tetapi belum dapat langsung untuk diterapkan. Sebagai contoh dalam menentukan biaya tetap, maka harus dilakukan break down lagi , komponen biaya apakah yang dapat dimasukan ke dalam golongan Biaya tetap. Begitu pula ketika menetukan biaya variable yang merupakan biaya yang langsung berhubungan dengan biaya produksi. Diperlukan analisa yang detail dan cermat untuk menentukan komponen masing-masing biaya. Hal ini juga dikarenakan komponen biaya pada masing masing produk adalah berbeda beda.
Sebagai contoh
ilustrasi adalah menghitung break event point untuk usaha Penjualan Nasi
Goreng, maka komponen biaya tetap dan biaya variable dapat dikelompokan sebagai
berikut:
Biaya Variabel :
-
Nasi Rp. 1.500
-
Bumbu Rp. 500
-
Minyak Goreng Rp. 500
-
Ayam Rp. 1.000
-
Telor Rp. 500
-
Bungkus Rp. 500
-
Ongkos kerja Rp. 500
Jumlah
Rp. 5.000
Jumlah
biaya untuk membuat satu porsi nasi Goreng adalah Rp. 5.000,-
Biaya
Tetap : terdiri atas
-
Sewa tempat Rp. 1.000.000/ bln
-
Gaji Pegawai Rp. 1.000.000/ bln
-
PDAM Rp. 50.000/bln
-
Telepon Rp. 100.000/ bln
-
Pengadaan Peralatan Masak Rp.
1.000.000/ bln
Jumlah
Rp. 3.150.000/ bln
Jumlah
biaya tetap yang harus dibayar per bulan adalah Rp. 3.150.000,-
Yang menjadi pertanyaan adalah ,
berapa nasi goreng yang harus terjual per bulan untuk BEP, jika harga jual nasi
Goreng per porsi Rp. 7.000,-
Perhitungan:
TR = TC
TR = TC
P.Q= FC + V.Q
7.000 .Q = 3.150.000 + 5.000 x Q
7000Q-5000Q = 3.150
2000Q = 3.150
Q = 3150/2000
Q= 1575 porsi
Jadi untuk BEP maka setiap bulan
harus dapat terjual sebanyak 1575 porsi atau 52,5 porsi per hari.
Keutungan usaha adalah jika mampu
untuk menjual lebih dari Q pada BEP
Untuk kasus bisnis yang lainnya maka, tentu memerlukan rincian yang berbeda dan banhkan akan memerlukan perhitungan yang lebih rumit jika perusahaan yang ditangani besar dan jumlah produk bervariasi.
Untuk kasus bisnis yang lainnya maka, tentu memerlukan rincian yang berbeda dan banhkan akan memerlukan perhitungan yang lebih rumit jika perusahaan yang ditangani besar dan jumlah produk bervariasi.
bermanfaat sekali
ReplyDeleteMy blog